KUPANG-TEMPONTT.COM,-Ratusan warga eks Timor-Timur yang telah bermukim di wilayah Naibonat, Kabupaten Kupang, mendatangi Kantor Gubernur NTT untuk menyampaikan penolakan terhadap rencana relokasi mereka ke kawasan Burung Unta. Aksi ini berlangsung damai, namun penuh amarah dan keluhan atas ketidakpastian nasib mereka yang telah bertahan selama lebih dari dua dekade tanpa kejelasan hak atas tanah.
Dalam pertemuan dengan perwakilan Pemerintah Provinsi NTT di Ruang Asisten I, Imanuel Martens, salah satu perwakilan warga menyampaikan keprihatinan mendalam atas proyek pembangunan 2.100 unit rumah yang dinilai tidak layak huni dan tidak manusiawi.
"Perumahan itu untuk kami, tapi apakah layak untuk kami atau tidak? NKRI itu harga mati buat kami. Kami bela mati-matian demi negara ini. Kami mau tanya, tanah dan air kami tidak miliki, apakah kami ini masyarakat Indonesia atau bukan?" tegas Imanuel. Kepada media 16/6/25.
Ia menyebut rumah yang dibangun hanya berukuran 110 meter persegi dan tidak dilengkapi fasilitas dasar seperti sekolah, puskesmas, maupun lahan pertanian padahal mayoritas warga adalah petani. Lebih dari itu, menurutnya, program tersebut hanya menyasar warga eks Timor Leste generasi pertama, dan mengabaikan generasi selanjutnya yang telah hidup di Indonesia sejak 1999.
"Kami sudah lama menderita. Pemerintah tidak perhatikan kami. Tiap lima tahun kami diminta memilih, tapi habis pemilihan, kami digusur. Kira-kira kami ini warga mana?" keluhnya.
Pernyataan yang paling menyentuh datang saat Imanuel menegaskan tekad masyarakat untuk tetap bertahan di tanah yang mereka huni sejak konflik Timor-Timur.
"Tanah yang kami tinggal ini tidak akan kami kasih, kecuali kami rampas. Apapun yang terjadi. Daripada kami kesana, kami kasih mati anak-anak," katanya penuh emosi.
Desakan Pembatalan Relokasi
Henri, Koordinator Umum aksi, menilai proyek 2100 unit rumah di Burung Unta cacat prosedural dan tidak memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Ia menyebut proyek tersebut tidak melibatkan partisipasi warga dan sarat indikasi pelanggaran hukum, termasuk dari sisi ketenagakerjaan.
"Kami menuntut Gubernur NTT, Melki Laka Lena, untuk mengeluarkan pernyataan resmi bahwa relokasi itu tidak layak. Rumahnya rusak, tidak ada fasilitas umum, dan penuh masalah," tegas Henri.
Ia juga meminta agar Dinas Ketenagakerjaan dan dinas teknis lain segera turun tangan mengawasi kondisi pekerja proyek yang dilaporkan tidak digaji dan tak memiliki kontrak kerja yang jelas.
"Lebih menyakitkan lagi, bantuan itu malah dikorupsi. Kami sudah 27 tahun tinggal di sana, hak kami dirampas. Kami datang ke sini sebagai warga NKRI. Pak Gubernur, tolong perhatikan kami yang masih bertahan di Naibonat," tambahnya.
Henri juga menyoroti penggunaan aparat yang justru dianggap memojokkan warga, padahal warga secara rutin membayar pajak dan mematuhi aturan.
Sorotan Aliansi Reforma Agraria
Syahrul dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria menyampaikan dalam audiensi bahwa masyarakat Naibonat menghadapi diskriminasi berlapis. Mereka dianggap penghianat jika ingin kembali ke Timor Leste, namun hidup tanpa kepastian jika memilih bertahan di Indonesia.
"Akar persoalannya jelas: tidak adanya kepastian hukum atas tanah yang telah mereka tempati selama 27 tahun. Itu inti masalahnya," ujarnya.
Syahrul menilai kebijakan pembangunan rumah 2100 melanggar prinsip partisipasi seperti yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2012 dan PP No. 19 Tahun 2021. Ia menegaskan bahwa relokasi bukan soal ketidaktahuan warga, melainkan penolakan sadar atas kebijakan yang tak berpihak.
"Masyarakat bukan tidak tahu. Tapi mereka menolak. Sebagus apapun rumah 2100, kalau mereka tidak mau, ya jangan dipaksakan. Yang diperlukan adalah kepastian atas tanah tempat mereka sudah tinggal puluhan tahun," kata Syahrul.
Ia juga membeberkan kejanggalan dalam isi sertifikat rumah yang tidak bisa diwariskansuatu hal yang dinilainya bertentangan dengan asas reforma agraria.
Syahrul turut mengaitkan persoalan ini dengan konflik agraria serupa di Pulau Kera.
"Masalah di Pulau Kera juga belum selesai. Pemerintah bilang izin HGU belum diperpanjang, tapi perusahaan bilang sudah. Ini membingungkan masyarakat. Kami minta semua aktivitas dihentikan sampai ada kepastian hukum," tutupnya.
Respons Pemerintah dan Aparat
Dari pihak pemerintah, Kepala Dinas PUPR yang baru dilantik mengakui bahwa proyek 2100 unit rumah memang menyisakan banyak persoalan, mulai dari infrastruktur minim hingga tidak adanya jaminan hukum atas kepemilikan rumah.
"Kami akan kaji ulang model sertifikatnya. Tidak boleh ada pemaksaan. Kalau program ini bantuan, maka sifatnya sukarela. Kalau relokasi, maka harus dialogis dan manusiawi," jelasnya.
Ia juga menyatakan bahwa Pemprov NTT akan berkoordinasi dengan BPN dan kementerian terkait agar masyarakat bisa mendapatkan kepastian hak atas tanah di Naibonat.
Kapolresta Kupang Kota, Kombes Pol Aldinan RJH Manurung yang hadir langsung mengawal aksi, menjamin keamanan dan menyatakan keterbukaan Polri dalam menyalurkan aspirasi masyarakat.
"Kami paham keresahan warga. Mari kita salurkan secara damai dan bermartabat. Kami akan bantu koordinasi agar masyarakat tidak kehilangan haknya," katanya.
Sementara itu, Dinas Ketenagakerjaan NTT berjanji akan turun tangan mengecek status tenaga kerja proyek pembangunan rumah 2100.
"Kami akan telusuri hubungan kerja secara detail, agar hak-hak pekerja dipenuhi dan tidak terjadi pelanggaran," ungkap perwakilan dinas tersebut.
Aksi Berlanjut ke Kejati
Usai bertemu dengan Pemprov NTT, massa aksi melanjutkan demonstrasi ke Kantor Kejaksaan Tinggi NTT untuk menuntut penegakan hukum dan transparansi dalam proyek pembangunan rumah tersebut.